Minggu, 05 Juni 2011

BE THE BEST OF WHAT EVER YOU ARE...
Oleh: Fr. Hediharto, SMM

            Kisah ini terjadi ketika suatu saat aku berhenti sejenak dari rutinitas kampus dan keseharianku di biara. Suatu ketika yang memberikan kesempatan bagiku untuk mencecapi kisah cukup menarik untuk dikenang dan direnungkan. Suatu ketika di tengah aliran arus waktu yang terasa begitu cepat dan membuat aku tampak tenggelam dalam kesibukan doa dan studi. Saat dimana aku ibarat terbangun serentak dari tidurku untuk mengalami kehidupan di luar sana.
Bertanya-tanya? Tentu. Takut? Kadang cemas-cemas takut. Lalu, apa yang membuat aku berani untuk menghadapinya? Rahmat? Aku yakin demikian. Kebeberanian ini terdorong oleh keyakin akan tuntunan Tuhan dalam setiap langkah yang aku tapaki.
Inilah kisahku sebulan bersama umat di Lingkungan Umbul Sari, Paroki Loh Dalem-Malang Selatan.

Bersama sang gembala
            Kedatanganku ditunggu sejak petang hari. Aku tiba malam hari. Ketika suasana malam hari mulai sepi. Namun, di pojok halaman kampung itu terlihat beberapa orang pemuda yang lagi asyik beronda malam. Api unggun yang  menerangi rumah pos penjagaan para pemuda itu memberikan warna bahwa daerah itu hanyalah sebuah kampung sederhana. Suasana keheningan malam juga sedikit memberikan gambaran akan kesederhanaan warganya. Perkampungan? Benar. Seperti situasi di kebanyakan kampung lainnya. Hening dan tenang. Semua orang telah memasuki rumah. Namun... di sana kita menemukan kedamaian. Ada saling pengertian. Membuat aku terbawa jauh ke kampung halaman tempat aku dibesarkan dan dilahirkan. Demikian sekilas aku lukiskan situasi di saat aku tiba di tempat itu-Lingkungan Umbul Sari.
            Malam itu aku diterima oleh ketua kelompok dan tuan rumah, Pak Sumiran, yang akan menerima aku untuk beberapa waktu. Pikiranku mencoba menduga keadaan ekonomi keluarga Pak sumiran. Sekilas aku mulai melihat keadaan rumah tempat mereka tinggal. Rumah yang bagiku cukup mewah. Dari keadaan rumah itu mereka tampak seperti orang yang berada. Bahkan aku sempat berpikir mungkin minimal salah satu dari anggota keluarga itu bekerja di kantor. Benarkah demikian?
            Malam itu juga aku memperkenalkan diri kepada semua anggota rumah dan ketua kelompok yang hadir di situ. Yang peling penting juga adalah menjelaskan tujuan kegiatan kegiatan live-in atau kehadiranku ke tengah-tengah mereka. Bagi saya, ini penting karena akan lebih memperdalam rasa pengertian dan demi sebuah relasi yang tidak dibatasi oleh identitas; sebagai frater atau minimal sebagi seorang mahasiswa yang KKN-demikian dalam pikiran mereka. Dengan perkenalan dan menjelaskan tujuan kegiatan live-in, mereka pun dengan hati terbuka untuk menerima kehadiranku. Bagi hal yang membuat mereka senang adalah kehadiranku yang ingin merasakan suka duka hidup mereka; pekerjaan sehari-hari mereka, makanan dan minuman sehari-hari mereka, situasi keluarga mereka dan yang tatkala pentingnya adalah kehidupan iman mereka. Bukan hanya aku, tuan rumahpun memperkenalkan semuanya itu kepadake. Akhirnya kau tahu, siapa sebenarnya pemilik rumah yang mewah itu. Ternyata dia hanyalah seorang gembala. Yang dia punya hanyalah sapi, kambing dan memelihara beberapa ekor ayam dan kelinci. Itulah yang menjadi lahan kerja mereka setiap hari.
            Apakah yang aku belajar dari sang gembala dan peternak itu? Setiap pagi aku mengambil bagian dalam memberi makanan untuk ayam dan terutama kelinci yang jarang dipelihara di banyak tempat. Menurut saya seorang gembala yang baik harus seperti dikatakan dalam kitab suci. Inilah karakter utama seorang gembala. Karakter ini mungkin bisa kita lihat dalam diri sang gembala ini, Pak Sumiran. Dia tahu kapan peliharaannya itu lapar, kapan haus.Setiap binatang peliharaan juga membutuhkan sentuhan sang gembala. Untuk itu dia tahu kapan harus dimandikan, kapan membersihkan kandangnya. Sekali waktu pun peliharaan itu harus menikmati alam bebas; mereka harus keluar dari kungkungan kandang yang sempit dan terbatas.Pada saatnya dia memetik hasil dari kerjanya itu. Tentunya memuaskan karena menjadi penopang hidup mereka.
            Untuk menambah ekonomi rumah tangga, sang ibu membuka sebuah usaha kecil. mereka mempunyai sebuah warung kecil untuk berjualan. Keberadaan warung ini juga sangat mencukupi kebutuhan sehari-hari. Hal yang menarik juga adalah kisah hidup keluarga itu yang mulai dari nol menata ekonomi rumah tangga mereka. Dahulunya mereka hanya mempunyai dua bidang kebun dengan rumah yang cukup reot. Hal yang membuka cakrawala mereka untuk menemukan usaha-usaha kecil baru yaitu harga panenan kebun mereka yang tidak mencukupi kebutuhan keluarga. Ketika anak-anaknya dewasa pun, dua orang anak gadisnya dipekerjakan ke luar negeri. Kepergian kedua anak ini membawa perubahan yang besar dalam keluarga mereka. Bisa membangun rumah yang mewah dan mendapat modal untuk mulai membentuk usaha kecil dengan membuka sebuah warung di depan rumah mereka.
            Ini tentu kisah yang menarik. Hidup yang tidak pernah putusasa berjuang. Hidup yang harus didahului oleh salib namun akhirnya memberikan kebahagiaan. Hal ini terjadi ketika masing-masing orang “menjadi yang terbaik” dalam memperjuangkan ekonomi rumah tangga secara bersama-sama.
Bagaimana dengan kehidupan iman mereka. Jujur... Mungkin inilah yang masih perlu dibenah. Dalam hal yang sangat kecil, misalnya doa sebelum dan sesudah makan. Atau kegiatan iman di lingkungan. Terutama bagi anak-anaknya yang masih muda. Untuk itu saya harus berani untuk mengajak mereka dalam mengikuti kegiatan di lingkungan. Namun sulit bagiku untuk mengajak mereka berdoa bersama sebelum dan sesudah makan karena tidak ada tradisi makan bersama dalam keluarga itu. Bukan hanya itu. Rupanya bagian dari budaya setempat dalam menerima tamu harus seperti itu. Tuan rumah memberikan kesempatan kepada tamu untuk menikmati apa yang mereka hidangkan. Inilah bentuk penghargaan mereka terhadap setiap tamu yang berkunjung ke tempat mereka. Di sini aku berhadapan dengan budaya yang sungguh berbeda. Senang bisa mengenal perbedaan budaya.
Kebersamaanku hari demi hari membuat aku merasa betah tinggal di rumah itu. Tentu menjadi kegembiraan tersendiri ketika mereka memperlakukan saya sebagai bagian dari anggota rumah itu. Demikian juga pandanganku terhadap mereka. Aku melihat mereka sebagai orang tua dan kakak-adikku. Sebuah relasi yang menunjukkan kedekatan anatara aku dan mereka.


Hendak di Babtis menjadi Katolik
                                                                    
Ada pergulatan di antara umat. Apakah aku harus berpindah tempat penginapan setiap minggu. Di sini membutuhkan jalur yang demokratis. Tentu menjadi kesulitan bagi keluarga bapak Sumiran melepaspergikan aku dari rumah mereka. Dengan penuh ke-PeDe-an saya mengatakan bahwa mereka telah memperlakukan aku sebagai anak mereka. Sebaliknya, aku pun memperlakukan mereka sebagai orang tuaku. Kedekatan inilah yang membuat saya dan mereka takut untuk berpisah. Dari pihak saya, juga ada ketakutan memasuki situasi yang baru. Sebagai seorang calon gembala tentu aku harus berperang melawan katakutan ini. Aku harus berani pergi dan bersikap lepas bebas. Demikian suara hatiku berkata. Atas berbagai pertimbangan umat, aku diminta untuk berpindah rumah setiap satu minggu. Hal ini dikuatkan oleh pernyataan ketua lingkungan bahwa atas kesepakatan dengan pastor paroki, semua frater yang ber-live-in akan nginap di rumah umat secara bergilir.
Minggu yang kedua aku berpindah ke tetangga Pak Sumiran. Bukan hanya sebagai tetangga rumah. Mereka adalah kakak beradik. Pak Sumiran sebagai kakak dan Pak Katiman sebagai adik. Mereka sangat hidup rukun. Pekerjaan yang dilakukannya sehari-hari adalah sebagai petani. Selama seminggu itu aku mengambil bagian dalam kehidupan mereka sebagai seorang petani. Selama berada di sana aku mengambil bagian dalam mencabut singkong. Setelah itu singkong-singkong itu dibersihkan untuk dijual guna menambah nafkah mereka.
Kisah mengenai pekerjaan sehari-hari tidaklah menjadi pengalaman yang berkesan bagiku. Sebagai seorang calon imam, saya lebih tersentuh dengan pengalaman iman ibu di rumah itu. Rupa-rupanya mereka melakukan pernikahan beda agama. Sang ibu masih menganut Islam. Sudah sekian lama sang ibu merindukan untuk dibabtis. Untuk itu sering kali dia mengikuti doa-doa dan kegiatan rohani dalam lingkungan. Suatu ketika dia mengikuti doa rosario. Dia belajar mendaraskan Salam Maria ketika didoakan secara bergilir. Sayangnya dia gagal dan menimbulkan tawa ria dari umat yang lain. Suasana doa menjadi ribut. Ketika doa rosario berakhir, ketua kelompok, yang adalah anak sulungnya menegur sang ibu dengan kata-kata yang kurang tepat. “Menjadi Katolik jangan hanya untuk bersandiwara”. Kata-kata yang menohok dan memalukan bagi sang ibu. Sejak saat itu, sang ibu tidak lagi aktif di berdoa di lingkungan. Alasan ini juga yang membuat dia tidak melamar diri untuk dibaptis menjadi Katolik. Sampai sekarang dia sebagai penganut agama Islam walaupun tidak pernah lagi menjalankan ibadah agamanya.
Menjadi pengikut Kristus memanglah tidak mudah. Jalan Krsitus adalah jalan salib. Sang ibu dari awal mendapat salib. Lalu, apakah sang ibu mengerti tentang misteri Salib ini? Tidak. Dia belum mengerti banyak tentang ajaran iman Katolik.  Andaikata dia memahami tentang jalan mengikuti Kristus, pasti pengalaman itu tidak menjadi penghalang baginya untuk segera dibabtis. Inilah yang coba kuyakinkan kepada sang ibu selama berada bersama mereka. Hal lain yang coba kulakukan adalah mengajak beliau ketika berdoa bersama di lingkungan. Dalam doa-doa selanjutnya, aku mengajak ibu itu untuk bersama-sama mengikuti di lingkungan. Apakah dia berani untuk menewarkan diri untuk dibabtis? Semoga.

Ketika Tidak Dikaruniai Anak:Dukacita Terbesar  dalam Hidup Berkeluarga
Apakah yang menarik dari kebersamaan dengan kedua lansia itu?
Aku tahu bahwa ekonomi keluarga mereka lebih dari cukup karena mereka mempunyai banyak kebun yang disewakan kepada orang lain. Di dalam rumah tangga mereka mempunyai perlengkapan yang memadai. Ada peralatan dan perhiasan rumah yang harganya mulai dari puluhan ribu sampai jutaan. Namun, apalah artinya semua itu bagi seorang yang sudah berumur delapan puluh dua tahun (umur sang suami) dan enam puluh lima tahun (umur sang isteri) itu semuanya tidak terawat. Hal yang membuat aku terdorong untuk melakukan sesuatu yang berguna adalah sebuah pengalaman yang aku alami di hari pertama aku berada bersama mereka. Sang ibu menggunakan sebuah baju untuk dijadikan kain lap peralatan makan. Aku sangat yakin bahwa baju tersebut dipakai oleh sang kakek ketika hari sebelumnya saya bertamu ke sana. Bisa kita mengerti bahwa inilah pembawaan diri orang tua. Bukan karena mereka tidak memiliki persediaan kain lap yang cukup. Begitupun dengan kain sprei yang kelihatan sangat kumal, bukan karena mereka tidak mempunyai kain sprei yang cukup untuk menggantikan kain yang kumal itu.
            Pada hari pertama aku bersama mereka, aku terdorong untuk membereskan semuanya itu. Pertama-tama yang aku lakukan adalah membersihkan semua peralatan makan dan menatanya pada tempat yang tepat. Pada saat itu juga sang ibu baru mulai mengeluarkan kain-kain lap yang baru dari almarinya. Begitupun ketika aku menggantikan sprei yang kotor dan kuml itu. Dengan segera sang ibu mengeluarkan kain sprei yang baru dari almarinya. Saat itu aku makin yakin bahwa ketidakteraturan itu bukan karena mereka tidak memiliki sesuatu tetapi semata karena pengaruh usia yang makin lanjut. Semuanya menjadi tidak dipentingkan. Bahkan kebersihan dan kesehatan pun tidak dipentingkan.
Bagaimana dengan cucu mereka? Mungkin terlalu dimanjakan. Akibatnya sang anak mempunyai pertumbuhan yang lamban. Sekarang dia memasuki SMP. Namun segalas sesuatunya tetap dibereskan oleh kakek atau neneknya. Jika perkara-perkara kecil untuk mengurus dirinya sendiri belum bisa, apalagi perkara rumah tangga yang lebih besar. Bahkan akupun mendapat perlakuan yang memanjakan dari mereka. Setiap kali aku menyelesaikan suatu pekerjaan, aku langsung dipijat sebab sang ibu adalah spesialis pijit di kampung itu. Perlu diketahui lebih lanjut bahwa sang anak sebenarnya adalah anak dari seorang puteri asuhan mereka. Jadi kedua orang tua itu tidak mempunyai seorang anakpun. Bagi saya, inilah dukacita terbesar dalam hidup berkeluarga. Siapakah yang melanjutkan keturunan? Untuk apakah tujuan pernikahan? Siapa yang memelihara mereka di masa tua? Siapa yang berhak mendapat segala warisan mereka? Sejenak aku melihat bahwa mereka tidak merasa itu sebagai sebuah masalah. Namun, apakah benar? Ataukah mereka sudah melewati masa krisis, sehingga tidak ada lagi pemikiran akan masa depan? Menanti matahari terbenam?

Pindah dari Islam ke Katolik: Sebuah Panggilan
            Inilah kisahku di hari-hari terakhir masa live-in-ku. Setelah seminggu berada jauh dari keluarga-keluarga dan tentunya merasa kesepian, kini aku hidup di tengah keluarga yang besar. Kisah terakhir masa live-in-ku kuhabiskan bersama Pak Supriyono, sekeluarga.Beliau adalah ketua kelempok Umbul Sari. Pekerjaan kami setiap hari selama berada bersama Pak Supriyono adalah mencetak bata. Sebuah ketrampilan yang baru aku pelajari. Pekerjaan yang membutuhkan kesabaran dan keuletan karena harus berjemur di bawah terik mentari dan harus membersihkan cetakan yang sudah kering agar kelihatan rapi dan bersih.
Pak Supriyono adalah seorang yang baru dibabtis menjadi Katolik. Isterinya pun baru melakukan pembaharuan janji babtis sebab meninggalkan Gereja selama beberapa tahun karena mengikuti suami. Bagaimana dengan lima orang anak mereka?
Kelima orang anak mereka dibabtis dalam Gereja Katolik sejak kecil oleh kakek dan nenek mereka.
Apa yang menarik dari pengalaman Pak Supryono ketika berpindah agama yakni melihat pristiwa sebagai sebuah panggilan. Jawaban ini langsung menyentuh aspek kognitif dalam diri saya bahwa pernyataan itu sangat teologis. Menjadi pengikut Kristus adalah panggilan yang luhur. Andaikata semua orang Katolik yang sudah dibabtis menyadari hal ini, pasti tujuan kedatangan Kristus untuk mendirikan Kerajaan Allah di dunia segera terwujud karena pewartaan dari setiap orang yang terpanggil. Sekian lama Pak Supriyono mencari waktu yang tepat untuk dibabtis. Bahkan dia harus memenuhi tuntutan Gereja dalam menghafal doa-doa pokok Gereja. Itu dia lakukan dengan sungguh. Pada saatnya dia dibaptis dan langsung dipilih menjadi ketua kelompok ketika masa jabatan ketua kelompok mereka berakhir. Pada poin ini kita juga dapat melihat ketaatannya. Beliau dengan yakin menerima tugas itu sambil menyadari bahwa dia masih harus belajar banyak tentang kehidupan menggereja. Bukan hanya sebagi ketua kelompok tetapi juga  sebagai ketua RT. Sebuah tugas pelayanan yang mulia. Semua tugas itu dilihatnya dalam terang panggilan hidupnya sebagai pengikut Kristus.
Kisah terakhirku terjadi dengan sebuah pristiwa yang mengharukan. Semua umat mendatangi rumah ketua kelompok untuk menyampaikan salam perpisahan kepadaku sebab mlam itu adalah malam terakhir. Hal yang membuat aku terharu adalah kesediaan mereka untuk menghadiri upacara perpisahan sederhana itu. Semua anggota kelompok hadir; mulai dari bayi yang masih digendong sampai denga kakek dan nenek yang sudah berbau liang kubur. Ada banyak pengalaman yang kami sharingkan untuk menggantikan renungan dalam ibadat perpisahan. Ada banyak pesan dan kesan yang aku terima. Lebih terharu lagi ketika mereka menyerahkan kenang-kenangan kecil untukku, yakni sebuah handuk. Aku tahu mereka memberi dari kekurangan mereka. Inilah kisahku selama hari-hari terakhir masa live-in-ku.
Masih banyak kisah dan peristiwa yang aku alami di lingkungan Umbul Sari, misalnya memberi latihan nyanyi, memimpin ibadat mingguan, mengajar sekolah minggu, memberi pembinaan bagi anak-anak yang hendak komuni pertama. Namun kalau semuanya itu dikisahkan satu per satu, mungkin buku kecil ini tidak bisa menampung semuanya.

Be the Best of What Ever You Are....
            “Jadilah yang terbaik, siapapun Anda...” Inilah kata-kata yang bisa aku simpulkan dari berbagai pengalaman yang telah aku hadapi selama masa live-in. Umat yang telah aku jumpai dengan penuh kesederhanaan untuk tetap menjadi yang terbaik, siapapun mereka. Sebuah prinsip hidup yang baik untuk dimiliki


oleh setiap orang.
Apa yang mau dikatakan? Kita sebagai kaum biarawan-biarawati seharusnya tahu tugas dan tanggungjawab kita yang sebenarnya. Sang gembala yang sederhana tela belajar menjadi yang terbaik dengan profesinya itu sehingga bisa menyelamatkan jiwa, yakni menopang kehidupan keluarganya. Demikian pun dengan petani sederhana tadi. Atau seorang ibu yang masih dalam berjuang menemukan sesuatu yang berarti bagi hidupnya--hendak dibaptis. Lebih menarik lagi kalau kita melihat salib besar yang harus ditanggung oleh sebuah keluarga tua yang tidak dikarunia seorang anakpun. Andaikata mereka tidak “menjadi yang terbaik, dari siapa pun mereka” pasti keluarga itu sudah berantakan. Mungkin sudah terjadi perceraian saat usia muda perkawinan mereka.

                                                                          
J€£üŠ lØvë ý©ü ã£

Sabtu, 04 Juni 2011

NATAL: BECOMING Atau BEING?

NATAL: BECOMING Atau BEING?

          Berikut ini berupakan sebuah refleksi filosofis akan sebuah perayaan besar dalam iman kekatolikan, yaitu perayaan Natal. Tulisan ini tidak terlalu mempersoalkan tentang apa itu Natal menurut ajaran iman Katolik, namun lebih diterang oleh dua gaya pemikiran besar dalam dunia filsafat, yakni dunia Yahudi dan Yunani.

Sekilas Tentang Gaya Dua Gaya Pemikiran
Kita tahu bahwa gaya pemikiran Yahudi dapat dikatakan bersifat dinamis dibanding gaya pemikiran Yunani yang statis. Apa maksud pernyataan ini? Dalam memandang realitas, pemikiran Yahudi mempunyai visi yang menyeluruh. Bagi mereka yang penting itu bukan apa yang ‘ada’(being) melainkan apa yang ‘terjadi’(menjadi), bagaimana hubungan realitas itu terhadap manusia; bukan halnya sendiri yang penting tetapi hubungannya dengan orang. Sebaliknya gaya pemikiran Yunani lebih mempersoalkan hal-hal yang esensial. Realitas tidak dilihatnya sebagai suatu ‘rangkaian’ tetapi lebih sebagai ‘kosmos’,  yang berjalan demikian adanya. Kosmos manusia dan dunianya berjalan seturut kosmos ilahi (ada tingkatan kosmos)
          Selanjutnya, dalam menanyakan sesuatu orang Yahudi lebih memfokuskan diri pada apa yang dikerjakan sesuatu atau seseorang dan di mana kedudukannya dan peranannya. Hal ini berdampak pada persoalan yang mereka hadapi mengenai Allah. Bagi mereka keberadaan Allah dan dewa-dewi tidak diragukan lagi. Yang penting bagi mereka adalah apakah Allah secara aktif hadir, bagaimana Allah bertindak dan berbuat dan berkarya di dunia. Mereka tidak mempersoalkan adanya Allah tetapi relevansinya Allah. Sebaliknya orang Yunani akan bertanya: apa itu, siapa itu? Bagi mereka, ‘ada’nya sesuatu  dan seseorang di dalam dirinya sendiri telah menjelaskan peranan dan kedudukannya. Terhadap Allah pun mereka akan bertanya: Apa itu realitas Allah? Siapakah Allah itu? Bagaimana relasi antara manusia dan Allah dipikirkan? 

Natal: Becoming atau Being
          Dari dua pemikiran di atas kita tahu bahwa ‘becoming’ (menjadi) itu adalah gaya pemikiran Yahudi, sedangkan ‘being’ (ada) adalah gaya pemikiran Yunani. Natal, Becoming atau Being? Natal adalah memperingati hari lahir Yesus. Jadi, dapat dikatakan bahwa Natal merupakan penegasan akan peristiwa inkarnasi yang telah mulai saat Maria mengandung dari Roh Kudus. Inkarnasi itu sendiri adalah Allah ‘menjadi’ (becoming) manusia.
Orang Yahudi tidak mempersoalkan: apakah inkarnasi itu? Siapakah Yesus itu? Mereka lebih mempersoalkan ‘makna’ Natal (inkarnasi) itu. Apakah relasinya dengan mereka? Natal sebagai suatu realitas yang perlu dipahami itu dimaknai dalam kehidupan mereka. Konsekuensi pemikiran ini terhadap kristianitas adalah bahwa jika Yesus tidak lahir (tidak ‘menjadi’) maka agama Kristen tidak ada. Demikian juga dengan aneka konsep seperti: tidak ada pengampunan dosa, tidak ada kehidupan kekal, dsb.
Lain halnya dengan orang Yunani. Mereka lebih mempersoalkan: siapakah Yesus itu? Siapakah Allah yang berinkarnasi itu? Apa itu inkarnasi? Pertanyaan-pertanyaan ini lebih menyentuh esensi sebuah realitas (Allah sebagai realitas tertinggi). Pemikiran Yunani ini bukanlah tanpa efek bagi agama Kristen. Pemikiran ini mengundang lahirnya aneka doktrin dan apologi-apologi yang berusaha menjelaskan mengenai Allah yang berinkarnasi. Jadi, Natal bagi orang Yunani merupakan suatu sejarah yang membutuhkan pemahaman manusia.
Akhirnya sebuah pertanyaan yang perlu kita lontarkan adalah apakah makna kedua pemikiran ini bagi kita? Natal adalah peristiwa ‘menjadi’ yang dekat dan bersatu dengan kita. Dengan kata lain menyentuh pengalaman keseharian hidup kita. Natal selalu memberikan makna tertentu bagi kita. Demikian jika kita memandangnya dari perspektif pemikiran Yahudi. Natal itu juga adalah peristiwa iman. Peristiwa iman yang mengundang kita untuk menjelaskan kepada siapa pun tentang “siapakah Allah yang ‘menjadi’ (berinkarnasi) itu”.*Hediharto*

GEREJA SEBAGAI SIMBOL



CATATAN AWAL
            Simbol selalu hadir dalam kehidupan manusia. Manusia menuangkan gagasan, ide dan sikapnya dalam ungkapan-ungkapan simbolis.  Kehadiran simbol/lambang mempunyai peranan penting dalam hidup manusia. Melalui simbol manusia dapat mengemas pesan dan menyampaikannya maksudnya. Simbol banyak dipakai dalam agama-agama.
            Dalam Gereja Katolik simbol itu mendapat kedudukan yang istimewa. Ungkapan-ungkapan iman disampaikan dalam bentuk simbol-simbol. Tindakan atau benda yang dijadikan simbol dalam dalam Gereja Katolik mempunyai arti yang mendalam. Untuk itu orang perlu dengan tepat memahami dan mendalami arti simbol yang sebenarnya.
            Gereja adalah sebuah simbol dalam iman Katolik. Gereja sebagai simbol mempunyai arti yang mendalam dari sekedar bangunan fisik tempat umat berdoa. Dalam iman, orang Katolik menggunakan simbol sebagai tanda kehadiran Allah. Semua simbol dalam Gereja Katolik dikuduskan untuk menjadi suci. Melalui syimbol-simbol itu disampaikanlah misteri Kristus. Jadi tanda kehadiran Allah yang tertinggi adalah Yesus Kristus. Simbol-simbol termasuk Gereja adalah perpanjangan dari Yesus Kristus.[1]

ARTI GEREJA
Etimologis kata ‘gereja’ adalah dari bahasa Yunani, ekklesia, yang artinya mereka yang dipanggil, kyriake, yang artinya yang dimiliki Tuhan. Kata ‘gereja’ yang dipakai dalam bahasa Indonesia berasal dari kata Portugis ‘igreja’. Jadi kata ‘gereja’ digunakan baik untuk gedung-gedung ibadat maupun untuk umat Kristen. Secara liturgis untuk gereja sebagai gedung kita sebut ruang atau tempat litugis (liturgical space) dan umatnya kita sebut sebagai jemaat kristiani. Pemahaman secara liturgis ini penting agar kita dapat menilik segala sesuatu mengenai ‘gereja’.[2] Maka sebaiknya perlu memperhatikan tiga kriteria ini, yakni:
§  Kriteria praktis, berkaitan dengan unsur-unsur material gedung gereja, bentuknya, letaknya, posisi tempat duduk umat, tempat untuk pemimpin.
§  Kriteria sosio-personal, yakni gereja sebagai tempat mengungkapkan dan mengembangkan roh kumunitas, sambil memperhatikan pribadi setiap anggota.
§  Kriteria personal, yakni Gereja sebagai tempat pertemuan manusia dengan Allah yang mewahyukan diri lewat Yesus di dalam Gereja-Nya.
Dalam Kitab Suci Perjanjian Lama sering dipakai kata ‘umat Allah’, sebagai umat terpilih, yakni kedua belas suku Israel; dan sidang rayanya disebut quahal (Ibr) atau ekklesial (Yunani). Dalam Perjanjian Baru ini dikaitkan dengan Yesus Kristus yang memanggil kedua belas rasul. Yesus memilih kedua belas rasul mau menunjukkan bahwa Dialah Mesias yang diutus Allah untuk mendirikan Kerajaan-Nya secara definitif.[3] Yesus tidak hanya memanggil murid-murid dan orang-orang saleh lainnya tetapi juga orang-orang berdosa, terbuang dan tersingkir. Allah membentuk dan memilih umat-Nya dengan perantaraan Kristus seperti halnya Dia memilih Israel dengan perantaraan nabi-nabi Perjanjian Lama. Kerajaan Allah datang melalui diri Yesus Kristus. Kerajaan Allah ini bersifat universal karena Allah satu-satunya Bapa semua orang.

Gereja dapat dipandang dari berbagai segi.[4]
1.   Secarahistoris: lanjutan dari kelompok yang dibentuk oleh Yesus (antara tahun 27-30 ses. M), yaitu para murid. Selanjutnya gereja terpecah dan menyebar ke berbagai daerah di mana hubungan satu dengan yang lainnya menjadi sulit.
2.   Secara sosiologis yakni sebagai persekutuan orang Kristen yang terorganisasi , berkembang dan berperan dalam masyarakat.
3.   Dari sudut pengertian-dirinya, yakni sebagaimana yang dipaparkan oleh ajaran Gereja. Ajaran ini dalam bentuk historis prateologis, yakni mengadakan refleksi teologis 1) atas didirikannya Gereja oleh Yesus Kristus yang bangkit, 2) atas tugasnya mengajar dengan wewenang khusus, dan 3) secara teologis merefleksikan hakekatnya sendiri.
4.   Dari sudut teologis
Pada zaman patristik mengedepankan ciri Gereja yang apostolik, pentingnya uskup dan dewan-dewan uskup, Gereja yang universal, Gereja yang bebas dari negara, peranan khusus uskup Roma.
Dalam konstitusi tentang Gereja, Gereja dipandang sebagai wahyu Ilahi yang terselesaikan dalam Yesus Kristus. Oleh karena itu Gereja sebenarnya merupakan sakramental yang terdiri dari tanda (bentuk yang nyata secara sosiologis) dan kenyataan Ilahi yang tidak tampak (Tubuh Kristus sendiri sendiri sebagai Gereja).
Gereja adalah persekutuan orang beriman dalam Roh Kudus. Hal ini terlihat sejak setelah peristiwa Paskah di mana Kristus naik ke surga namun Roh-Nya tetap hadir dalam Gereja pada peristiwa Pentakosta.
Konsili Vatikan II mengedepankan tiga tingkatan berlangsungnya Gereja, yakni 1) tingkatan kerohanian iman dan rahmat, 2) tingkatan jabatan-jabatan, penerimaan sakramen dan pewartaan, 3) tingkat penyelesaian di masa akhirat. Selain itu disampaikan juga sifat Gereja yang satu, kudus, katolik dan apostolik, seperti diakui dalam syahadat  Nicea-Konstantinopel.

ARTI SIMBOLIS GEREJA
      Gereja sebagai bangunan fisik ternyata mempunyai arti yang mendalam dan sangat teologis. Gereja sebagai simbol memiliki banyak arti yang hendak diungkapkan dari sejarah keselamatan Allah di dunia. Dari pengertian di atas kita telah melihat arti gereja sebagai bangunan (fisik) dan Gereja sebagai himpunan umat beriman. Arti yang kedua sebenarnya sudah mengacu pada makna simbolis arti pertama. Beberapa arti simbolis gereja adalah:
1.      Lambang Gereja peziarah
Dinding atau bentuk gereja secara fisik melambangkan umat Allah yang sedang berziarah di bumi ini sekaligus memantulkan Gereja yang berada di surga. Umat Allah itu adalah mereka yang sedang mengarungi kehidupan dengan bimbingan Sabda Allah, melalui kedamaian dan ketentraman dalam Gereja dan akhirnya berziarah menuju ke keabadian surgawi. Gereja yang sedang berziarah ini juga kadang disimbolkan dengan bahtera nabi Nuh.
2.      Lambang Kota surgawi
Dalam Kitab Wahyu 21 dan 22 digambarkan Yerusalem baru, lambang Gereja sempurna. Gereja merupakan gambaran kota suci surgawi di bumi ini. Gereja yang didirikan oleh Allah telah mendapat pemenuhannya dalam diri Yesus Putera-Nya. Yesus adalah batu penjurunya dan iman para rasul adalah pilar-pilarnya. Nama-nama para rasul dipahat di atas batu-bau dasarnya. Kristus menjadi terang bagi Gereja-Nya. Kota surgawi diidentikan dengan kota Yerusalem oleh karena benteng dan menara Yerusalem pernah menjadi model bagi Gereja-gereja di Eropa (Origenes dan Tertulianus).
3.      Gereja sebagai Tubuh Kristus
Sebagai Tubuh Mistik Kristus, Yesus adalah kepala dan kita adalah anggotanya. Hal ini berdasarkan pada pemahaman bahwa Allah Bapa membangun persekutuan itu dalam Roh Kudus. Roh Kuduslah yang menyatukan umat beriman dan Allah dalam cinta. Roh Kudus menghubungkan orang Kristen dengan Kristus. Persatuan itu secara nyata terlaksana dalam diri Yesus Kristus yang sungguh Allah dan sungguh manusia. Hal ini juga berarti Gereja mendapat bentuk nyata yang kelihatan.
4.      Gereja sebagai rumah Allah
Gereja sebagai rumah Allah mengacu pada fungsi gereja sebagai tempat perayaan liturgis. Gereja adalah tempat dimana umat beriman memuji dan memuliakan Allah. Sesuai data historis dikatakan bahwa Gereja merupakan gabungan tiga tempat yang masing-masing mempunya fungsi religius, yakni:
o  Sinagoga: tempat berkumpul dan studi Kitab Suci
o  Bait Allah: tempat mempersembahkan kurban
o  Rumah keluarga: tempat perjamuan dan doa.
Ketiga fungsi inilah yang kemudian menjadi fungsi gereja. Maka dapat kita katakan gereja merupakan tempat perwujudan tritugas Kristus, sebagai nabi, imam dan raja.

CATATAN AKHIR
Yesus sendiri tidak pernah meminta kita untuk mendirikan bangunan gereja (fisik). Yesus hanya menghendaki kita berhimpun ‘dalam Roh dan kebenaran’. “Di mana dua atau tiga orang berkumpul atas nama-Ku, di situ Aku hadir” (bdk Mat 18:20). Namun dirasa penting agar umat mempunyai tempat merayakan imannya secara bersama. Gereja adalah persekutuan umat beriman yang merayakan keselamatan untuk mewujudkan Kerajaan Allah di dunia menuju Yerulem surgawi.
Gereja sebagai simbol menghadirkan rencana besar Allah di dunia, yakni Kerajaan Allah. Arti gereja sebagai simbol mengarah pada rencana besar ini. Untuk Gereja mestinya tetap tegak bertahan sebagai rumah Allah yang kokoh kuat di tengah dunia yang selalu berkembang sambil memancarkan nilai-nilai kasih bagi semua orang.


[1] Komisi Liturgi KWI. Kursus Dasar Teologi Liturgi. Hlm. 54.
[2] C.H.Suryanugraha. Rupa dan Citra: aneka simbol dalam misa. Sangkris: Bandung. 2004. Hlm. 9.
[3] A. Heuken, Sj. Ensiklopedi Gereja. Cipta Loka Caraka:Jakarta 1991. Hlm.341
[4] Ibid. hlm. 344.

TANDA KEBAJIKAN SEJATI MENURUT ZHUANGZI


 Pendahuluan
            Kebajikan menjadi satu tema penting dalam Kitab Zhuangzi, pada bagian dalam bab yang V.  Mengapa tema kebajikan ini diangkat oleh Zhuangzi? Hal mendasar yang perlu kita ketahui soal ini adalah ketiga aliran yang melatarbelakangi pemikiran Zhungzi. Pengaruh pertama datangnya dari Konfusius (konfuisanisme). Pengaruh besar yang diberikan konfusianisme adalah tentang pentingnya kebijaksanaan dan kesetiaan kepada kultur dan ritual. Pengaruh kedua datang dari kaum mohist. Kaum mohist memberikan kritikan terhadap kaum konfusianisme dan sangat menekankan kultural yang tradisional. Yang ketiga datang dari Laozi, yang sangat menekankan orang untuk back to basic.  Pemikiran Zhuangzi sangat dipengaruhi oleh ketiga aliran ini. Ajaran-ajarannya filosofisnya menekankan moral setiap individu, dengan menekankan kesetaraan dan kebebasan yang mengalir dari sumber cinta (Dao cinta).
          Pembahasan berikut ini lebih difokuskan pada bagian V kitab Neipian (Kitab bagian dalam), yang banyak diakui sebagai kumpulan tulisan Zhuangzi sendiri. Namun, sebelum masuk pada pokok ini, kami merasa perlu untuk mengupas sekilas tentang siapa itu Zhuangzi dan karyanya.

 Riwayat Hidup Zhuangzi dan Karyanya
1.        Sekilas tentang Riwayat Hidup Zhuangzi
            Sedikit sekali kita mengetahui tentang seluk-beluk kehidupan Zhuangzi. Menurut Sima Qian, seorang sejarahwan dari Dinasti Han, Zhuangzi lahir satu abad setelah kematian Konfusius, pada periode Perang Antar Negara (403-221SM). Nama aslinya Zhou (, Zhōu). Kadang namanya ditulis Chuang Tzŭ, Chuang Tsu, Zhuang Tze.Zhuangzi diperkirakan hidup pada jaman Raja Hui dari Liang 梁惠王 dan Raja Xuan dari Qi, sekitar 370 – 301 SM.[1] Dia datang dari daerah Meng dimana dia bekerja sebagai serorang pejabat kecil. Karena ingin menarik diri kepada kehidupan pribadi, ia menolak tawaran Raja Wei Chu untuk menjadi perdana mentri.

2.        Karyanya
            Karya Zhuangzi dapat kita temukan dalam sebuah kitab yang disebut juga Kitab Zhuangzi. Nama lain dari kitab ini adalah Nanhua Zhangjing atau Nanhua Jing. Kitab ini terdiri dari 33 bab, yang terdiri dari tiga bagian utama, yaitu bagian dalam (neipian), yang terdiri dari tujuh bab; bagian luar (waipian), yang terdiri dari 15 bab; bagian umum (zapian), yang terdiri dari 11 bab. Tujuh bab bagian dalam diyakini ditulis sendiri oleh Zhuangzi dan bagian luar adalah kumpulan-kumpulan kisah  tentang Zhuangzi para murid. Sedangkan kesebelas bab bagian umum merupakan komentar atau pandangan dari para pengikut Zhuangzi.           
Tanda Kebajikan Sejati Menurut Zhuangzi
            Pemikiran mengenai tanda kebajikan sejati ini dapat kita temukan dalam bab 5 Neipian. Berikut ini merupakan pemahaman penulis mengenai makna dari dialog yang ada dalam kitab tersebut. Beberapa tanda kebajikan sejati tersebut adalah: 
1.   Bijaksana
Di negara Lu ada seorang bernama Wang Tai yang kehilangan satu kakinya. Namun mempunyai banyak pengikut kira-kira sebanyak murid Konfusius. Chang Ji mempersoalkan hal ini. Menurut konfusius, Wang Tai adalah seorang yang bijak. Tetap pantas kalau Konfusius ingin menyerahkan daerah kekuasaannya dan bahkan seluruh dunia kepada Wang Tai. Lebih dari itu,  Konfusius ingin menjadi muridnya. Hal ini sulit diterima oleh Chang Ji. Maka Konfusius menegaskan bahwa hidup dan mati tidak mempunyai pengaruh bagi Wang Tai untuk menjadi gurunya. Bahkan hingga  surga dan bumi berguncang pun tidak mempengaruhi keberadaan Wang Tai. Nasib Wang Tai menurut Konfusius tidak sama dengan orang-orang yang mempunyai kekayaan dan tidak terpengaruh oleh arus masa. Wang Tai melihat segala sesuatu sebagai satu kesatuan. Ia melihat segala sesuatu bukan dari perbedaannya tetapi dari kesamaannya. Segala sesuatu itu tidak hanya dilihat dengan mata tetapi juga dengan hati dan budinya. Juga tidak dinilai dari kekurangannya.[2] 
            Apa yang di maksudkan dengan bijaksana oleh Zhuangzi? Zhuangzi setuju dengan apa yang disampaikan oleh Konfusius dalam dialognya dengan Ch’ang Chi. Menurut Konfusius, kebijaksanaan tidak terlihat dari struktur organis semata. Artinya kenormalan tubuh, dalam hal ini organ-organ tubuh manusia, tidak menjadi ukuran bagi kebijaksanaannya. Lalu dimana letak kebijaksanaan itu? Orang yang bijaksana adalah:
·        Orang yang tidak terpengaruh oleh arus masa. Walaupun langit dan bumi itu berguncang, ia tidak merasa kehilangan. 
·        Orang yang memandang segala sesuatu secara jernih, seperti pandangan yang biasa dipakai oleh Taoisme, yang disebutnya sebagai ‘bijaksana di dalam’.
·       Orang yang memandang segala sesuatu tidak dari perbedaannya tetapi dari persamaannya. Orang yang demikian adalah orang tidak sekedar mengaku berdasarkan apa yang ditangkap oleh telinga dan matanya, tetapi lebih melihat segala sesuatu dengan hati dan pikiran. Dia tidak memandang segala sesuatu dari kekurangannya.
·         Jadi, dia adalah orang yang menerima kodrat apa adanya. Setiap orang telah diatur demikian adanya sejak dilahirkan. Dia harus menjalan kodrat yang ada dan bukannya menentang kodratnya. Sehingga manusia tidak perlu takut berhadapan dengan peristiwa hidup yang menjadi bagian atau tuntutan kodratnya.
2.      Persatuan dengan De
Mereka adalah Shen Tu Jia dan Zi Chan. Shen Tu Jia  kehilangan kaki sebelahnya. Mereka belajar pada seorang guru, Hun Wu Ren. Menurut Zi Chan, jika ia pergi keluar lebih dulu, maka Shen Tu Jia tetap di rumah dan kemudian baru menyusul. Pun sebaliknya.
Pada suatu hari, Zi Chan keluar dari istana. Maka Shen Tu menunggu di istana. Zi Chan bertanya kepada Shen Tu, apakah dengan tinggal di rumah, Shen Tu sama dengan Guru. Shen Tu mengecam Zi Chan karena dia keluar dari istana hanya untuk mencari kesenangan. Shen Tu menjelaskannya dengan sebuah ilustrasi tentang sebuah cermin. Sebuah cermin terlihat terang kalau tak ada debu yang menempel padanya. Ilustrasi ini hendak mengatakan bahwa seorang akan merasa tidak bersalah kalau berada bersama seorang yang bersih. Bagi Zi Chan ini adalah tanda kesombongan Shen Tu karena menganggap dirinya melebihi Yao. Namun bagi Shen Tu, ini adalah sebuah pengakuan akan kesalahan dan dosa. Orang yang mengaku kesalahan sedikit ditemukan. Zi Chan mengecam Shen Tu karena kesalahannya. Karena Shen Tu tetap berani, Shen Tua memberikan reaksi yang membungkam Zi Chan. Shen Tu mengatakan bahwa selama tinggal bersama guru dalam kurun waktu yang lama, ia tidak pernah memikirkan atau merasakan bahwa dirinya cacat. Relasi dengan gurunya tidak tercipta karena kecacatan. Shen Tu sungguh merasakan ketenangan. Zi Chen pun terdiam. 
            Dari sudut pandang Dao segala sesuatu sama dengan keadaannya. Dao menjadikan segala sesuatu dan segala sesuatu itu sama dengan keadaannya. Apakah segala sesuatu itu? Segala sesuatu sama dengan keadaannya. Ada sesuatu yang jelek dan ada yang indah, ada yang khusus dan ada yang indah. Namun semua ini oleh Dao dipersatukan dan menjadi satu.[3]
            Jadi persatuan dengan Dao itu amat penting bagi usaha pencapaian kebajikan tertinggi. Kebersamaan seorang pribadi berhadapan dengan orang lain didasari oleh prinsip kesetaraan, sebab di dalam De semuanya satu. Karena kesempurnaan atau kecacatan tubuh tidak menjadi ukuran bagi persatuan dengan De. Manusia yang penuh kebajikan adalah manusia yang menyatu dengan Kesatuan Yang Besar.

3.      Belajar terus Menerus pada De
Di Lu ada seorang bernama Shu-shan No-Toes yang  kakinya terpotong dan ia menjumpai Confusius dengan bungkam. Dia datang kepada Konfusius untuk mengakui kalau ia terlalu semberono dengan tubuhnya sendiri sehingga membuat salah satu kakinya hilang. Walau demikian, Shu-shan No-toes tetap merasa bahwa ia tetap mempunyai sesuatu yang berharga. Dia masih berharap untuk bisa belajar pada Konfusius yang dianggapnya sebagai langit dan bumi. Ketekunan No-Toes untuk datang belajar padanya dilihatnyas sebagai hal yang patut diteladani para muridnya. Sebab hanya sedikit orang yang bijaksana. 
            Manusia tidak pernah luput dari kesalahan. Kesalahan yang bisa membawanya pada penyesalan karena kerusakan keutuhan diri yang disebabkan oleh kecerobohannya sendiri. Orang yang penuh kebajikan ini hanya sedikit ditemukan sebab misalnya meskipun dia tidak perlu berjalan menggunakan kaki, dia masih tetap bergantung pada yang lain, yaitu De. De juga merupakan tujuan dari suara bumi dan suara langit.[4] De sebagai kepenuhan kebajikan menjadi ketergantungan orang yang belajar dan mendambakan kesempurnaan itu. Manusia dengan usahanya yang terus-menerus untuk mempelajari De akan membantunya bersatu dengan Dao Tertinggi.
4.   Segala sesuatu sia-sia                                      
Ada seorang dari negara Wei bernama Ai Tai Ta yang bermuka  jelek. Namun sangat disukai oleh para gadis bahkan hanya untuk menjadi gundik saja. Ai Tai Ta tidak pernah berbicara tentang dirinya tetapi selalu menciptakan keharmonisan. Ia tidak pernah menjadi seorang pemimpin. Ia juga tidak pernah mendukung atau membantu orang lain dengan memberi uang. Namun  tentu memiliki kualitas yang luar biasa. Banyak orang ingin tinggal besamanya dan hendak mengangktnya menjadi pemimpin. Menanggapi ini, Konfusius mengisahkan pengalamannya sewaktu misi ke Chu`u. Ia melihat beberapa babi kecil sedang mengobati tubuh ibu mereka yang sudah meninggal. Beberapa saat kemudian mereka meninggalkan mayat ibu mereka sebab yang mereka lihat bukan lagi ibu mereka seperti sebelumnya. Mereka mencintai ibu mereka bukan semata-mata karena bentuk fisiknya tetapi karena cinta yang menggerakkan bentuk tubuhnya. Demikian pun seorang tentara yang meninggal dalam peperangan tidak ada urusan untuk dikuburkan. Atau seorang yang tidak mempunyai kaki. Dia tidak lagi beralasan untuk mencintai sepatunya.
Dari semua itu, Konfusius sebenarnya ingin mengatakan bahwa segala sesuatu yang dirasa penting akhirnya sia-sia dan lenyap. Ai Tai Ta tidak perlu mengatakan dengan kata-kata, tetapi orang mempercayainya; tidak perlu menunjukkan pencapaian-pencapainnya tetapi orang ingin dekat dengan dia; mempunyai sebuah kemampuan yang hebat walaupun secara lahiriah itu tidak tampak. Konfusius menambahkan bahwa kematian dan kehidupan, kehilangan dan kesuksesan, kekayaan dan kesehatan, pujian dan celaaan, kepantasan dan ketidakpantasan, lapar dan haus, panas dan dingin, semua ini akan berubah dan ditentukan oleh nasib.

            Segala sesuatu adalah sia-sia, demikian kata Konfusius. Kata-kata yang diucapkan manusia untuk menunjukkan keunggulannya, kesuksesannya, kemampuannya semuanya sia-sia. Singkatnya semua yang lahiriah adalah sia-sia. Bahkan kematian dan kehidupan, kegagalan dan kesuksesan, kesakitan dan kesehatan, pujian dan celaan, kepantasan dan ketidakpantasan, lapar dan haus, panas dan dingin semuanya berubah seturut nasib. Dasar dari keharmonisan pribadi semua orang adalah kekuatan rohaniah. 
Penutup
            Dari uraian yang telah ditandaskan di atas, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa konsep kebajikan sejati menurut Zhuangzi terletak pada persatuan dengan De. Kebajikan sejati adalah persatuan dengan De. Zhuanzi mengajarkan beberapa jalan menuju kebajikan sejati itu melalui tiga tanda, yakni kebijaksanaan, persatuan dengan De, usaha terus menerus melalui pembelajaran terhadap De dan ketidak-terikatan pada hal-hal lahiriah. Ajaran Zhuangzi ini sebagian besar diambil dari pemikiran Konfusius dalam dialog-dialognya.

                                                      




[1] Rm. Agus Lie, CDD., (Handout Mata Kuliah Filsafat China), STFT Widya Sasana, 2010.
[2] Ringkasan cerita-cerita yang ada pada setiap poin merupakan hasil terjemahan dari naskah Inggris versi terjemahan dari naskah tulisan China oleh Nina Correa, dengan judul: Calculations on Fulfilling Virtue.
[3] Fung-Yu Lan, Sejarah Filsafat China, Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2007, hlm.146-147
[4] Suara bumi seperti yang disebabkan oleh angin, karena ketika kata-kata diucapkan, maka kata-kata itu menunjukkan dunia gagasan manusia. Kata-kata itu mengarah pada penyangkalan, opini-opini yang dibuat oleh individu menurut sudut pandangnya sendiri yang partikular dan terbatas. Sedangkan pemahaman langit berarti memandang segala sesuatu dari sudut pandang yang melampaui yang terbatas, yakni Tao. Ibid, hlm 143, 145.