Sabtu, 04 Juni 2011

NATAL: BECOMING Atau BEING?

NATAL: BECOMING Atau BEING?

          Berikut ini berupakan sebuah refleksi filosofis akan sebuah perayaan besar dalam iman kekatolikan, yaitu perayaan Natal. Tulisan ini tidak terlalu mempersoalkan tentang apa itu Natal menurut ajaran iman Katolik, namun lebih diterang oleh dua gaya pemikiran besar dalam dunia filsafat, yakni dunia Yahudi dan Yunani.

Sekilas Tentang Gaya Dua Gaya Pemikiran
Kita tahu bahwa gaya pemikiran Yahudi dapat dikatakan bersifat dinamis dibanding gaya pemikiran Yunani yang statis. Apa maksud pernyataan ini? Dalam memandang realitas, pemikiran Yahudi mempunyai visi yang menyeluruh. Bagi mereka yang penting itu bukan apa yang ‘ada’(being) melainkan apa yang ‘terjadi’(menjadi), bagaimana hubungan realitas itu terhadap manusia; bukan halnya sendiri yang penting tetapi hubungannya dengan orang. Sebaliknya gaya pemikiran Yunani lebih mempersoalkan hal-hal yang esensial. Realitas tidak dilihatnya sebagai suatu ‘rangkaian’ tetapi lebih sebagai ‘kosmos’,  yang berjalan demikian adanya. Kosmos manusia dan dunianya berjalan seturut kosmos ilahi (ada tingkatan kosmos)
          Selanjutnya, dalam menanyakan sesuatu orang Yahudi lebih memfokuskan diri pada apa yang dikerjakan sesuatu atau seseorang dan di mana kedudukannya dan peranannya. Hal ini berdampak pada persoalan yang mereka hadapi mengenai Allah. Bagi mereka keberadaan Allah dan dewa-dewi tidak diragukan lagi. Yang penting bagi mereka adalah apakah Allah secara aktif hadir, bagaimana Allah bertindak dan berbuat dan berkarya di dunia. Mereka tidak mempersoalkan adanya Allah tetapi relevansinya Allah. Sebaliknya orang Yunani akan bertanya: apa itu, siapa itu? Bagi mereka, ‘ada’nya sesuatu  dan seseorang di dalam dirinya sendiri telah menjelaskan peranan dan kedudukannya. Terhadap Allah pun mereka akan bertanya: Apa itu realitas Allah? Siapakah Allah itu? Bagaimana relasi antara manusia dan Allah dipikirkan? 

Natal: Becoming atau Being
          Dari dua pemikiran di atas kita tahu bahwa ‘becoming’ (menjadi) itu adalah gaya pemikiran Yahudi, sedangkan ‘being’ (ada) adalah gaya pemikiran Yunani. Natal, Becoming atau Being? Natal adalah memperingati hari lahir Yesus. Jadi, dapat dikatakan bahwa Natal merupakan penegasan akan peristiwa inkarnasi yang telah mulai saat Maria mengandung dari Roh Kudus. Inkarnasi itu sendiri adalah Allah ‘menjadi’ (becoming) manusia.
Orang Yahudi tidak mempersoalkan: apakah inkarnasi itu? Siapakah Yesus itu? Mereka lebih mempersoalkan ‘makna’ Natal (inkarnasi) itu. Apakah relasinya dengan mereka? Natal sebagai suatu realitas yang perlu dipahami itu dimaknai dalam kehidupan mereka. Konsekuensi pemikiran ini terhadap kristianitas adalah bahwa jika Yesus tidak lahir (tidak ‘menjadi’) maka agama Kristen tidak ada. Demikian juga dengan aneka konsep seperti: tidak ada pengampunan dosa, tidak ada kehidupan kekal, dsb.
Lain halnya dengan orang Yunani. Mereka lebih mempersoalkan: siapakah Yesus itu? Siapakah Allah yang berinkarnasi itu? Apa itu inkarnasi? Pertanyaan-pertanyaan ini lebih menyentuh esensi sebuah realitas (Allah sebagai realitas tertinggi). Pemikiran Yunani ini bukanlah tanpa efek bagi agama Kristen. Pemikiran ini mengundang lahirnya aneka doktrin dan apologi-apologi yang berusaha menjelaskan mengenai Allah yang berinkarnasi. Jadi, Natal bagi orang Yunani merupakan suatu sejarah yang membutuhkan pemahaman manusia.
Akhirnya sebuah pertanyaan yang perlu kita lontarkan adalah apakah makna kedua pemikiran ini bagi kita? Natal adalah peristiwa ‘menjadi’ yang dekat dan bersatu dengan kita. Dengan kata lain menyentuh pengalaman keseharian hidup kita. Natal selalu memberikan makna tertentu bagi kita. Demikian jika kita memandangnya dari perspektif pemikiran Yahudi. Natal itu juga adalah peristiwa iman. Peristiwa iman yang mengundang kita untuk menjelaskan kepada siapa pun tentang “siapakah Allah yang ‘menjadi’ (berinkarnasi) itu”.*Hediharto*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar