Minggu, 05 Juni 2011

BE THE BEST OF WHAT EVER YOU ARE...
Oleh: Fr. Hediharto, SMM

            Kisah ini terjadi ketika suatu saat aku berhenti sejenak dari rutinitas kampus dan keseharianku di biara. Suatu ketika yang memberikan kesempatan bagiku untuk mencecapi kisah cukup menarik untuk dikenang dan direnungkan. Suatu ketika di tengah aliran arus waktu yang terasa begitu cepat dan membuat aku tampak tenggelam dalam kesibukan doa dan studi. Saat dimana aku ibarat terbangun serentak dari tidurku untuk mengalami kehidupan di luar sana.
Bertanya-tanya? Tentu. Takut? Kadang cemas-cemas takut. Lalu, apa yang membuat aku berani untuk menghadapinya? Rahmat? Aku yakin demikian. Kebeberanian ini terdorong oleh keyakin akan tuntunan Tuhan dalam setiap langkah yang aku tapaki.
Inilah kisahku sebulan bersama umat di Lingkungan Umbul Sari, Paroki Loh Dalem-Malang Selatan.

Bersama sang gembala
            Kedatanganku ditunggu sejak petang hari. Aku tiba malam hari. Ketika suasana malam hari mulai sepi. Namun, di pojok halaman kampung itu terlihat beberapa orang pemuda yang lagi asyik beronda malam. Api unggun yang  menerangi rumah pos penjagaan para pemuda itu memberikan warna bahwa daerah itu hanyalah sebuah kampung sederhana. Suasana keheningan malam juga sedikit memberikan gambaran akan kesederhanaan warganya. Perkampungan? Benar. Seperti situasi di kebanyakan kampung lainnya. Hening dan tenang. Semua orang telah memasuki rumah. Namun... di sana kita menemukan kedamaian. Ada saling pengertian. Membuat aku terbawa jauh ke kampung halaman tempat aku dibesarkan dan dilahirkan. Demikian sekilas aku lukiskan situasi di saat aku tiba di tempat itu-Lingkungan Umbul Sari.
            Malam itu aku diterima oleh ketua kelompok dan tuan rumah, Pak Sumiran, yang akan menerima aku untuk beberapa waktu. Pikiranku mencoba menduga keadaan ekonomi keluarga Pak sumiran. Sekilas aku mulai melihat keadaan rumah tempat mereka tinggal. Rumah yang bagiku cukup mewah. Dari keadaan rumah itu mereka tampak seperti orang yang berada. Bahkan aku sempat berpikir mungkin minimal salah satu dari anggota keluarga itu bekerja di kantor. Benarkah demikian?
            Malam itu juga aku memperkenalkan diri kepada semua anggota rumah dan ketua kelompok yang hadir di situ. Yang peling penting juga adalah menjelaskan tujuan kegiatan kegiatan live-in atau kehadiranku ke tengah-tengah mereka. Bagi saya, ini penting karena akan lebih memperdalam rasa pengertian dan demi sebuah relasi yang tidak dibatasi oleh identitas; sebagai frater atau minimal sebagi seorang mahasiswa yang KKN-demikian dalam pikiran mereka. Dengan perkenalan dan menjelaskan tujuan kegiatan live-in, mereka pun dengan hati terbuka untuk menerima kehadiranku. Bagi hal yang membuat mereka senang adalah kehadiranku yang ingin merasakan suka duka hidup mereka; pekerjaan sehari-hari mereka, makanan dan minuman sehari-hari mereka, situasi keluarga mereka dan yang tatkala pentingnya adalah kehidupan iman mereka. Bukan hanya aku, tuan rumahpun memperkenalkan semuanya itu kepadake. Akhirnya kau tahu, siapa sebenarnya pemilik rumah yang mewah itu. Ternyata dia hanyalah seorang gembala. Yang dia punya hanyalah sapi, kambing dan memelihara beberapa ekor ayam dan kelinci. Itulah yang menjadi lahan kerja mereka setiap hari.
            Apakah yang aku belajar dari sang gembala dan peternak itu? Setiap pagi aku mengambil bagian dalam memberi makanan untuk ayam dan terutama kelinci yang jarang dipelihara di banyak tempat. Menurut saya seorang gembala yang baik harus seperti dikatakan dalam kitab suci. Inilah karakter utama seorang gembala. Karakter ini mungkin bisa kita lihat dalam diri sang gembala ini, Pak Sumiran. Dia tahu kapan peliharaannya itu lapar, kapan haus.Setiap binatang peliharaan juga membutuhkan sentuhan sang gembala. Untuk itu dia tahu kapan harus dimandikan, kapan membersihkan kandangnya. Sekali waktu pun peliharaan itu harus menikmati alam bebas; mereka harus keluar dari kungkungan kandang yang sempit dan terbatas.Pada saatnya dia memetik hasil dari kerjanya itu. Tentunya memuaskan karena menjadi penopang hidup mereka.
            Untuk menambah ekonomi rumah tangga, sang ibu membuka sebuah usaha kecil. mereka mempunyai sebuah warung kecil untuk berjualan. Keberadaan warung ini juga sangat mencukupi kebutuhan sehari-hari. Hal yang menarik juga adalah kisah hidup keluarga itu yang mulai dari nol menata ekonomi rumah tangga mereka. Dahulunya mereka hanya mempunyai dua bidang kebun dengan rumah yang cukup reot. Hal yang membuka cakrawala mereka untuk menemukan usaha-usaha kecil baru yaitu harga panenan kebun mereka yang tidak mencukupi kebutuhan keluarga. Ketika anak-anaknya dewasa pun, dua orang anak gadisnya dipekerjakan ke luar negeri. Kepergian kedua anak ini membawa perubahan yang besar dalam keluarga mereka. Bisa membangun rumah yang mewah dan mendapat modal untuk mulai membentuk usaha kecil dengan membuka sebuah warung di depan rumah mereka.
            Ini tentu kisah yang menarik. Hidup yang tidak pernah putusasa berjuang. Hidup yang harus didahului oleh salib namun akhirnya memberikan kebahagiaan. Hal ini terjadi ketika masing-masing orang “menjadi yang terbaik” dalam memperjuangkan ekonomi rumah tangga secara bersama-sama.
Bagaimana dengan kehidupan iman mereka. Jujur... Mungkin inilah yang masih perlu dibenah. Dalam hal yang sangat kecil, misalnya doa sebelum dan sesudah makan. Atau kegiatan iman di lingkungan. Terutama bagi anak-anaknya yang masih muda. Untuk itu saya harus berani untuk mengajak mereka dalam mengikuti kegiatan di lingkungan. Namun sulit bagiku untuk mengajak mereka berdoa bersama sebelum dan sesudah makan karena tidak ada tradisi makan bersama dalam keluarga itu. Bukan hanya itu. Rupanya bagian dari budaya setempat dalam menerima tamu harus seperti itu. Tuan rumah memberikan kesempatan kepada tamu untuk menikmati apa yang mereka hidangkan. Inilah bentuk penghargaan mereka terhadap setiap tamu yang berkunjung ke tempat mereka. Di sini aku berhadapan dengan budaya yang sungguh berbeda. Senang bisa mengenal perbedaan budaya.
Kebersamaanku hari demi hari membuat aku merasa betah tinggal di rumah itu. Tentu menjadi kegembiraan tersendiri ketika mereka memperlakukan saya sebagai bagian dari anggota rumah itu. Demikian juga pandanganku terhadap mereka. Aku melihat mereka sebagai orang tua dan kakak-adikku. Sebuah relasi yang menunjukkan kedekatan anatara aku dan mereka.


Hendak di Babtis menjadi Katolik
                                                                    
Ada pergulatan di antara umat. Apakah aku harus berpindah tempat penginapan setiap minggu. Di sini membutuhkan jalur yang demokratis. Tentu menjadi kesulitan bagi keluarga bapak Sumiran melepaspergikan aku dari rumah mereka. Dengan penuh ke-PeDe-an saya mengatakan bahwa mereka telah memperlakukan aku sebagai anak mereka. Sebaliknya, aku pun memperlakukan mereka sebagai orang tuaku. Kedekatan inilah yang membuat saya dan mereka takut untuk berpisah. Dari pihak saya, juga ada ketakutan memasuki situasi yang baru. Sebagai seorang calon gembala tentu aku harus berperang melawan katakutan ini. Aku harus berani pergi dan bersikap lepas bebas. Demikian suara hatiku berkata. Atas berbagai pertimbangan umat, aku diminta untuk berpindah rumah setiap satu minggu. Hal ini dikuatkan oleh pernyataan ketua lingkungan bahwa atas kesepakatan dengan pastor paroki, semua frater yang ber-live-in akan nginap di rumah umat secara bergilir.
Minggu yang kedua aku berpindah ke tetangga Pak Sumiran. Bukan hanya sebagai tetangga rumah. Mereka adalah kakak beradik. Pak Sumiran sebagai kakak dan Pak Katiman sebagai adik. Mereka sangat hidup rukun. Pekerjaan yang dilakukannya sehari-hari adalah sebagai petani. Selama seminggu itu aku mengambil bagian dalam kehidupan mereka sebagai seorang petani. Selama berada di sana aku mengambil bagian dalam mencabut singkong. Setelah itu singkong-singkong itu dibersihkan untuk dijual guna menambah nafkah mereka.
Kisah mengenai pekerjaan sehari-hari tidaklah menjadi pengalaman yang berkesan bagiku. Sebagai seorang calon imam, saya lebih tersentuh dengan pengalaman iman ibu di rumah itu. Rupa-rupanya mereka melakukan pernikahan beda agama. Sang ibu masih menganut Islam. Sudah sekian lama sang ibu merindukan untuk dibabtis. Untuk itu sering kali dia mengikuti doa-doa dan kegiatan rohani dalam lingkungan. Suatu ketika dia mengikuti doa rosario. Dia belajar mendaraskan Salam Maria ketika didoakan secara bergilir. Sayangnya dia gagal dan menimbulkan tawa ria dari umat yang lain. Suasana doa menjadi ribut. Ketika doa rosario berakhir, ketua kelompok, yang adalah anak sulungnya menegur sang ibu dengan kata-kata yang kurang tepat. “Menjadi Katolik jangan hanya untuk bersandiwara”. Kata-kata yang menohok dan memalukan bagi sang ibu. Sejak saat itu, sang ibu tidak lagi aktif di berdoa di lingkungan. Alasan ini juga yang membuat dia tidak melamar diri untuk dibaptis menjadi Katolik. Sampai sekarang dia sebagai penganut agama Islam walaupun tidak pernah lagi menjalankan ibadah agamanya.
Menjadi pengikut Kristus memanglah tidak mudah. Jalan Krsitus adalah jalan salib. Sang ibu dari awal mendapat salib. Lalu, apakah sang ibu mengerti tentang misteri Salib ini? Tidak. Dia belum mengerti banyak tentang ajaran iman Katolik.  Andaikata dia memahami tentang jalan mengikuti Kristus, pasti pengalaman itu tidak menjadi penghalang baginya untuk segera dibabtis. Inilah yang coba kuyakinkan kepada sang ibu selama berada bersama mereka. Hal lain yang coba kulakukan adalah mengajak beliau ketika berdoa bersama di lingkungan. Dalam doa-doa selanjutnya, aku mengajak ibu itu untuk bersama-sama mengikuti di lingkungan. Apakah dia berani untuk menewarkan diri untuk dibabtis? Semoga.

Ketika Tidak Dikaruniai Anak:Dukacita Terbesar  dalam Hidup Berkeluarga
Apakah yang menarik dari kebersamaan dengan kedua lansia itu?
Aku tahu bahwa ekonomi keluarga mereka lebih dari cukup karena mereka mempunyai banyak kebun yang disewakan kepada orang lain. Di dalam rumah tangga mereka mempunyai perlengkapan yang memadai. Ada peralatan dan perhiasan rumah yang harganya mulai dari puluhan ribu sampai jutaan. Namun, apalah artinya semua itu bagi seorang yang sudah berumur delapan puluh dua tahun (umur sang suami) dan enam puluh lima tahun (umur sang isteri) itu semuanya tidak terawat. Hal yang membuat aku terdorong untuk melakukan sesuatu yang berguna adalah sebuah pengalaman yang aku alami di hari pertama aku berada bersama mereka. Sang ibu menggunakan sebuah baju untuk dijadikan kain lap peralatan makan. Aku sangat yakin bahwa baju tersebut dipakai oleh sang kakek ketika hari sebelumnya saya bertamu ke sana. Bisa kita mengerti bahwa inilah pembawaan diri orang tua. Bukan karena mereka tidak memiliki persediaan kain lap yang cukup. Begitupun dengan kain sprei yang kelihatan sangat kumal, bukan karena mereka tidak mempunyai kain sprei yang cukup untuk menggantikan kain yang kumal itu.
            Pada hari pertama aku bersama mereka, aku terdorong untuk membereskan semuanya itu. Pertama-tama yang aku lakukan adalah membersihkan semua peralatan makan dan menatanya pada tempat yang tepat. Pada saat itu juga sang ibu baru mulai mengeluarkan kain-kain lap yang baru dari almarinya. Begitupun ketika aku menggantikan sprei yang kotor dan kuml itu. Dengan segera sang ibu mengeluarkan kain sprei yang baru dari almarinya. Saat itu aku makin yakin bahwa ketidakteraturan itu bukan karena mereka tidak memiliki sesuatu tetapi semata karena pengaruh usia yang makin lanjut. Semuanya menjadi tidak dipentingkan. Bahkan kebersihan dan kesehatan pun tidak dipentingkan.
Bagaimana dengan cucu mereka? Mungkin terlalu dimanjakan. Akibatnya sang anak mempunyai pertumbuhan yang lamban. Sekarang dia memasuki SMP. Namun segalas sesuatunya tetap dibereskan oleh kakek atau neneknya. Jika perkara-perkara kecil untuk mengurus dirinya sendiri belum bisa, apalagi perkara rumah tangga yang lebih besar. Bahkan akupun mendapat perlakuan yang memanjakan dari mereka. Setiap kali aku menyelesaikan suatu pekerjaan, aku langsung dipijat sebab sang ibu adalah spesialis pijit di kampung itu. Perlu diketahui lebih lanjut bahwa sang anak sebenarnya adalah anak dari seorang puteri asuhan mereka. Jadi kedua orang tua itu tidak mempunyai seorang anakpun. Bagi saya, inilah dukacita terbesar dalam hidup berkeluarga. Siapakah yang melanjutkan keturunan? Untuk apakah tujuan pernikahan? Siapa yang memelihara mereka di masa tua? Siapa yang berhak mendapat segala warisan mereka? Sejenak aku melihat bahwa mereka tidak merasa itu sebagai sebuah masalah. Namun, apakah benar? Ataukah mereka sudah melewati masa krisis, sehingga tidak ada lagi pemikiran akan masa depan? Menanti matahari terbenam?

Pindah dari Islam ke Katolik: Sebuah Panggilan
            Inilah kisahku di hari-hari terakhir masa live-in-ku. Setelah seminggu berada jauh dari keluarga-keluarga dan tentunya merasa kesepian, kini aku hidup di tengah keluarga yang besar. Kisah terakhir masa live-in-ku kuhabiskan bersama Pak Supriyono, sekeluarga.Beliau adalah ketua kelempok Umbul Sari. Pekerjaan kami setiap hari selama berada bersama Pak Supriyono adalah mencetak bata. Sebuah ketrampilan yang baru aku pelajari. Pekerjaan yang membutuhkan kesabaran dan keuletan karena harus berjemur di bawah terik mentari dan harus membersihkan cetakan yang sudah kering agar kelihatan rapi dan bersih.
Pak Supriyono adalah seorang yang baru dibabtis menjadi Katolik. Isterinya pun baru melakukan pembaharuan janji babtis sebab meninggalkan Gereja selama beberapa tahun karena mengikuti suami. Bagaimana dengan lima orang anak mereka?
Kelima orang anak mereka dibabtis dalam Gereja Katolik sejak kecil oleh kakek dan nenek mereka.
Apa yang menarik dari pengalaman Pak Supryono ketika berpindah agama yakni melihat pristiwa sebagai sebuah panggilan. Jawaban ini langsung menyentuh aspek kognitif dalam diri saya bahwa pernyataan itu sangat teologis. Menjadi pengikut Kristus adalah panggilan yang luhur. Andaikata semua orang Katolik yang sudah dibabtis menyadari hal ini, pasti tujuan kedatangan Kristus untuk mendirikan Kerajaan Allah di dunia segera terwujud karena pewartaan dari setiap orang yang terpanggil. Sekian lama Pak Supriyono mencari waktu yang tepat untuk dibabtis. Bahkan dia harus memenuhi tuntutan Gereja dalam menghafal doa-doa pokok Gereja. Itu dia lakukan dengan sungguh. Pada saatnya dia dibaptis dan langsung dipilih menjadi ketua kelompok ketika masa jabatan ketua kelompok mereka berakhir. Pada poin ini kita juga dapat melihat ketaatannya. Beliau dengan yakin menerima tugas itu sambil menyadari bahwa dia masih harus belajar banyak tentang kehidupan menggereja. Bukan hanya sebagi ketua kelompok tetapi juga  sebagai ketua RT. Sebuah tugas pelayanan yang mulia. Semua tugas itu dilihatnya dalam terang panggilan hidupnya sebagai pengikut Kristus.
Kisah terakhirku terjadi dengan sebuah pristiwa yang mengharukan. Semua umat mendatangi rumah ketua kelompok untuk menyampaikan salam perpisahan kepadaku sebab mlam itu adalah malam terakhir. Hal yang membuat aku terharu adalah kesediaan mereka untuk menghadiri upacara perpisahan sederhana itu. Semua anggota kelompok hadir; mulai dari bayi yang masih digendong sampai denga kakek dan nenek yang sudah berbau liang kubur. Ada banyak pengalaman yang kami sharingkan untuk menggantikan renungan dalam ibadat perpisahan. Ada banyak pesan dan kesan yang aku terima. Lebih terharu lagi ketika mereka menyerahkan kenang-kenangan kecil untukku, yakni sebuah handuk. Aku tahu mereka memberi dari kekurangan mereka. Inilah kisahku selama hari-hari terakhir masa live-in-ku.
Masih banyak kisah dan peristiwa yang aku alami di lingkungan Umbul Sari, misalnya memberi latihan nyanyi, memimpin ibadat mingguan, mengajar sekolah minggu, memberi pembinaan bagi anak-anak yang hendak komuni pertama. Namun kalau semuanya itu dikisahkan satu per satu, mungkin buku kecil ini tidak bisa menampung semuanya.

Be the Best of What Ever You Are....
            “Jadilah yang terbaik, siapapun Anda...” Inilah kata-kata yang bisa aku simpulkan dari berbagai pengalaman yang telah aku hadapi selama masa live-in. Umat yang telah aku jumpai dengan penuh kesederhanaan untuk tetap menjadi yang terbaik, siapapun mereka. Sebuah prinsip hidup yang baik untuk dimiliki


oleh setiap orang.
Apa yang mau dikatakan? Kita sebagai kaum biarawan-biarawati seharusnya tahu tugas dan tanggungjawab kita yang sebenarnya. Sang gembala yang sederhana tela belajar menjadi yang terbaik dengan profesinya itu sehingga bisa menyelamatkan jiwa, yakni menopang kehidupan keluarganya. Demikian pun dengan petani sederhana tadi. Atau seorang ibu yang masih dalam berjuang menemukan sesuatu yang berarti bagi hidupnya--hendak dibaptis. Lebih menarik lagi kalau kita melihat salib besar yang harus ditanggung oleh sebuah keluarga tua yang tidak dikarunia seorang anakpun. Andaikata mereka tidak “menjadi yang terbaik, dari siapa pun mereka” pasti keluarga itu sudah berantakan. Mungkin sudah terjadi perceraian saat usia muda perkawinan mereka.

                                                                          
J€£üŠ lØvë ý©ü ã£

Tidak ada komentar:

Posting Komentar