Sabtu, 04 Juni 2011

TANDA KEBAJIKAN SEJATI MENURUT ZHUANGZI


 Pendahuluan
            Kebajikan menjadi satu tema penting dalam Kitab Zhuangzi, pada bagian dalam bab yang V.  Mengapa tema kebajikan ini diangkat oleh Zhuangzi? Hal mendasar yang perlu kita ketahui soal ini adalah ketiga aliran yang melatarbelakangi pemikiran Zhungzi. Pengaruh pertama datangnya dari Konfusius (konfuisanisme). Pengaruh besar yang diberikan konfusianisme adalah tentang pentingnya kebijaksanaan dan kesetiaan kepada kultur dan ritual. Pengaruh kedua datang dari kaum mohist. Kaum mohist memberikan kritikan terhadap kaum konfusianisme dan sangat menekankan kultural yang tradisional. Yang ketiga datang dari Laozi, yang sangat menekankan orang untuk back to basic.  Pemikiran Zhuangzi sangat dipengaruhi oleh ketiga aliran ini. Ajaran-ajarannya filosofisnya menekankan moral setiap individu, dengan menekankan kesetaraan dan kebebasan yang mengalir dari sumber cinta (Dao cinta).
          Pembahasan berikut ini lebih difokuskan pada bagian V kitab Neipian (Kitab bagian dalam), yang banyak diakui sebagai kumpulan tulisan Zhuangzi sendiri. Namun, sebelum masuk pada pokok ini, kami merasa perlu untuk mengupas sekilas tentang siapa itu Zhuangzi dan karyanya.

 Riwayat Hidup Zhuangzi dan Karyanya
1.        Sekilas tentang Riwayat Hidup Zhuangzi
            Sedikit sekali kita mengetahui tentang seluk-beluk kehidupan Zhuangzi. Menurut Sima Qian, seorang sejarahwan dari Dinasti Han, Zhuangzi lahir satu abad setelah kematian Konfusius, pada periode Perang Antar Negara (403-221SM). Nama aslinya Zhou (, Zhōu). Kadang namanya ditulis Chuang Tzŭ, Chuang Tsu, Zhuang Tze.Zhuangzi diperkirakan hidup pada jaman Raja Hui dari Liang 梁惠王 dan Raja Xuan dari Qi, sekitar 370 – 301 SM.[1] Dia datang dari daerah Meng dimana dia bekerja sebagai serorang pejabat kecil. Karena ingin menarik diri kepada kehidupan pribadi, ia menolak tawaran Raja Wei Chu untuk menjadi perdana mentri.

2.        Karyanya
            Karya Zhuangzi dapat kita temukan dalam sebuah kitab yang disebut juga Kitab Zhuangzi. Nama lain dari kitab ini adalah Nanhua Zhangjing atau Nanhua Jing. Kitab ini terdiri dari 33 bab, yang terdiri dari tiga bagian utama, yaitu bagian dalam (neipian), yang terdiri dari tujuh bab; bagian luar (waipian), yang terdiri dari 15 bab; bagian umum (zapian), yang terdiri dari 11 bab. Tujuh bab bagian dalam diyakini ditulis sendiri oleh Zhuangzi dan bagian luar adalah kumpulan-kumpulan kisah  tentang Zhuangzi para murid. Sedangkan kesebelas bab bagian umum merupakan komentar atau pandangan dari para pengikut Zhuangzi.           
Tanda Kebajikan Sejati Menurut Zhuangzi
            Pemikiran mengenai tanda kebajikan sejati ini dapat kita temukan dalam bab 5 Neipian. Berikut ini merupakan pemahaman penulis mengenai makna dari dialog yang ada dalam kitab tersebut. Beberapa tanda kebajikan sejati tersebut adalah: 
1.   Bijaksana
Di negara Lu ada seorang bernama Wang Tai yang kehilangan satu kakinya. Namun mempunyai banyak pengikut kira-kira sebanyak murid Konfusius. Chang Ji mempersoalkan hal ini. Menurut konfusius, Wang Tai adalah seorang yang bijak. Tetap pantas kalau Konfusius ingin menyerahkan daerah kekuasaannya dan bahkan seluruh dunia kepada Wang Tai. Lebih dari itu,  Konfusius ingin menjadi muridnya. Hal ini sulit diterima oleh Chang Ji. Maka Konfusius menegaskan bahwa hidup dan mati tidak mempunyai pengaruh bagi Wang Tai untuk menjadi gurunya. Bahkan hingga  surga dan bumi berguncang pun tidak mempengaruhi keberadaan Wang Tai. Nasib Wang Tai menurut Konfusius tidak sama dengan orang-orang yang mempunyai kekayaan dan tidak terpengaruh oleh arus masa. Wang Tai melihat segala sesuatu sebagai satu kesatuan. Ia melihat segala sesuatu bukan dari perbedaannya tetapi dari kesamaannya. Segala sesuatu itu tidak hanya dilihat dengan mata tetapi juga dengan hati dan budinya. Juga tidak dinilai dari kekurangannya.[2] 
            Apa yang di maksudkan dengan bijaksana oleh Zhuangzi? Zhuangzi setuju dengan apa yang disampaikan oleh Konfusius dalam dialognya dengan Ch’ang Chi. Menurut Konfusius, kebijaksanaan tidak terlihat dari struktur organis semata. Artinya kenormalan tubuh, dalam hal ini organ-organ tubuh manusia, tidak menjadi ukuran bagi kebijaksanaannya. Lalu dimana letak kebijaksanaan itu? Orang yang bijaksana adalah:
·        Orang yang tidak terpengaruh oleh arus masa. Walaupun langit dan bumi itu berguncang, ia tidak merasa kehilangan. 
·        Orang yang memandang segala sesuatu secara jernih, seperti pandangan yang biasa dipakai oleh Taoisme, yang disebutnya sebagai ‘bijaksana di dalam’.
·       Orang yang memandang segala sesuatu tidak dari perbedaannya tetapi dari persamaannya. Orang yang demikian adalah orang tidak sekedar mengaku berdasarkan apa yang ditangkap oleh telinga dan matanya, tetapi lebih melihat segala sesuatu dengan hati dan pikiran. Dia tidak memandang segala sesuatu dari kekurangannya.
·         Jadi, dia adalah orang yang menerima kodrat apa adanya. Setiap orang telah diatur demikian adanya sejak dilahirkan. Dia harus menjalan kodrat yang ada dan bukannya menentang kodratnya. Sehingga manusia tidak perlu takut berhadapan dengan peristiwa hidup yang menjadi bagian atau tuntutan kodratnya.
2.      Persatuan dengan De
Mereka adalah Shen Tu Jia dan Zi Chan. Shen Tu Jia  kehilangan kaki sebelahnya. Mereka belajar pada seorang guru, Hun Wu Ren. Menurut Zi Chan, jika ia pergi keluar lebih dulu, maka Shen Tu Jia tetap di rumah dan kemudian baru menyusul. Pun sebaliknya.
Pada suatu hari, Zi Chan keluar dari istana. Maka Shen Tu menunggu di istana. Zi Chan bertanya kepada Shen Tu, apakah dengan tinggal di rumah, Shen Tu sama dengan Guru. Shen Tu mengecam Zi Chan karena dia keluar dari istana hanya untuk mencari kesenangan. Shen Tu menjelaskannya dengan sebuah ilustrasi tentang sebuah cermin. Sebuah cermin terlihat terang kalau tak ada debu yang menempel padanya. Ilustrasi ini hendak mengatakan bahwa seorang akan merasa tidak bersalah kalau berada bersama seorang yang bersih. Bagi Zi Chan ini adalah tanda kesombongan Shen Tu karena menganggap dirinya melebihi Yao. Namun bagi Shen Tu, ini adalah sebuah pengakuan akan kesalahan dan dosa. Orang yang mengaku kesalahan sedikit ditemukan. Zi Chan mengecam Shen Tu karena kesalahannya. Karena Shen Tu tetap berani, Shen Tua memberikan reaksi yang membungkam Zi Chan. Shen Tu mengatakan bahwa selama tinggal bersama guru dalam kurun waktu yang lama, ia tidak pernah memikirkan atau merasakan bahwa dirinya cacat. Relasi dengan gurunya tidak tercipta karena kecacatan. Shen Tu sungguh merasakan ketenangan. Zi Chen pun terdiam. 
            Dari sudut pandang Dao segala sesuatu sama dengan keadaannya. Dao menjadikan segala sesuatu dan segala sesuatu itu sama dengan keadaannya. Apakah segala sesuatu itu? Segala sesuatu sama dengan keadaannya. Ada sesuatu yang jelek dan ada yang indah, ada yang khusus dan ada yang indah. Namun semua ini oleh Dao dipersatukan dan menjadi satu.[3]
            Jadi persatuan dengan Dao itu amat penting bagi usaha pencapaian kebajikan tertinggi. Kebersamaan seorang pribadi berhadapan dengan orang lain didasari oleh prinsip kesetaraan, sebab di dalam De semuanya satu. Karena kesempurnaan atau kecacatan tubuh tidak menjadi ukuran bagi persatuan dengan De. Manusia yang penuh kebajikan adalah manusia yang menyatu dengan Kesatuan Yang Besar.

3.      Belajar terus Menerus pada De
Di Lu ada seorang bernama Shu-shan No-Toes yang  kakinya terpotong dan ia menjumpai Confusius dengan bungkam. Dia datang kepada Konfusius untuk mengakui kalau ia terlalu semberono dengan tubuhnya sendiri sehingga membuat salah satu kakinya hilang. Walau demikian, Shu-shan No-toes tetap merasa bahwa ia tetap mempunyai sesuatu yang berharga. Dia masih berharap untuk bisa belajar pada Konfusius yang dianggapnya sebagai langit dan bumi. Ketekunan No-Toes untuk datang belajar padanya dilihatnyas sebagai hal yang patut diteladani para muridnya. Sebab hanya sedikit orang yang bijaksana. 
            Manusia tidak pernah luput dari kesalahan. Kesalahan yang bisa membawanya pada penyesalan karena kerusakan keutuhan diri yang disebabkan oleh kecerobohannya sendiri. Orang yang penuh kebajikan ini hanya sedikit ditemukan sebab misalnya meskipun dia tidak perlu berjalan menggunakan kaki, dia masih tetap bergantung pada yang lain, yaitu De. De juga merupakan tujuan dari suara bumi dan suara langit.[4] De sebagai kepenuhan kebajikan menjadi ketergantungan orang yang belajar dan mendambakan kesempurnaan itu. Manusia dengan usahanya yang terus-menerus untuk mempelajari De akan membantunya bersatu dengan Dao Tertinggi.
4.   Segala sesuatu sia-sia                                      
Ada seorang dari negara Wei bernama Ai Tai Ta yang bermuka  jelek. Namun sangat disukai oleh para gadis bahkan hanya untuk menjadi gundik saja. Ai Tai Ta tidak pernah berbicara tentang dirinya tetapi selalu menciptakan keharmonisan. Ia tidak pernah menjadi seorang pemimpin. Ia juga tidak pernah mendukung atau membantu orang lain dengan memberi uang. Namun  tentu memiliki kualitas yang luar biasa. Banyak orang ingin tinggal besamanya dan hendak mengangktnya menjadi pemimpin. Menanggapi ini, Konfusius mengisahkan pengalamannya sewaktu misi ke Chu`u. Ia melihat beberapa babi kecil sedang mengobati tubuh ibu mereka yang sudah meninggal. Beberapa saat kemudian mereka meninggalkan mayat ibu mereka sebab yang mereka lihat bukan lagi ibu mereka seperti sebelumnya. Mereka mencintai ibu mereka bukan semata-mata karena bentuk fisiknya tetapi karena cinta yang menggerakkan bentuk tubuhnya. Demikian pun seorang tentara yang meninggal dalam peperangan tidak ada urusan untuk dikuburkan. Atau seorang yang tidak mempunyai kaki. Dia tidak lagi beralasan untuk mencintai sepatunya.
Dari semua itu, Konfusius sebenarnya ingin mengatakan bahwa segala sesuatu yang dirasa penting akhirnya sia-sia dan lenyap. Ai Tai Ta tidak perlu mengatakan dengan kata-kata, tetapi orang mempercayainya; tidak perlu menunjukkan pencapaian-pencapainnya tetapi orang ingin dekat dengan dia; mempunyai sebuah kemampuan yang hebat walaupun secara lahiriah itu tidak tampak. Konfusius menambahkan bahwa kematian dan kehidupan, kehilangan dan kesuksesan, kekayaan dan kesehatan, pujian dan celaaan, kepantasan dan ketidakpantasan, lapar dan haus, panas dan dingin, semua ini akan berubah dan ditentukan oleh nasib.

            Segala sesuatu adalah sia-sia, demikian kata Konfusius. Kata-kata yang diucapkan manusia untuk menunjukkan keunggulannya, kesuksesannya, kemampuannya semuanya sia-sia. Singkatnya semua yang lahiriah adalah sia-sia. Bahkan kematian dan kehidupan, kegagalan dan kesuksesan, kesakitan dan kesehatan, pujian dan celaan, kepantasan dan ketidakpantasan, lapar dan haus, panas dan dingin semuanya berubah seturut nasib. Dasar dari keharmonisan pribadi semua orang adalah kekuatan rohaniah. 
Penutup
            Dari uraian yang telah ditandaskan di atas, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa konsep kebajikan sejati menurut Zhuangzi terletak pada persatuan dengan De. Kebajikan sejati adalah persatuan dengan De. Zhuanzi mengajarkan beberapa jalan menuju kebajikan sejati itu melalui tiga tanda, yakni kebijaksanaan, persatuan dengan De, usaha terus menerus melalui pembelajaran terhadap De dan ketidak-terikatan pada hal-hal lahiriah. Ajaran Zhuangzi ini sebagian besar diambil dari pemikiran Konfusius dalam dialog-dialognya.

                                                      




[1] Rm. Agus Lie, CDD., (Handout Mata Kuliah Filsafat China), STFT Widya Sasana, 2010.
[2] Ringkasan cerita-cerita yang ada pada setiap poin merupakan hasil terjemahan dari naskah Inggris versi terjemahan dari naskah tulisan China oleh Nina Correa, dengan judul: Calculations on Fulfilling Virtue.
[3] Fung-Yu Lan, Sejarah Filsafat China, Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2007, hlm.146-147
[4] Suara bumi seperti yang disebabkan oleh angin, karena ketika kata-kata diucapkan, maka kata-kata itu menunjukkan dunia gagasan manusia. Kata-kata itu mengarah pada penyangkalan, opini-opini yang dibuat oleh individu menurut sudut pandangnya sendiri yang partikular dan terbatas. Sedangkan pemahaman langit berarti memandang segala sesuatu dari sudut pandang yang melampaui yang terbatas, yakni Tao. Ibid, hlm 143, 145.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar